วันพุธที่ 10 สิงหาคม พ.ศ. 2554

Menghafal Al-Quran, Jalan Terbaik Untuk Memiliki Kecerdasan Yang Integral (Holistik)



August 10, 2011

Oleh : Purwanto Abdul Ghaffar

“Al-Quran adalah kunci kecerdasan integral” ini adalah moto yang selalu Kami ingin sebarkan kepada seluruh kaum muslimin, dengan menghafal Al-Quran maka semua potensi kecerdasan manusia akan terasah, berikut penjelasannya.

Menghafal Al-Quran menguatkan hubungan dengan Allah sang pemilik ilmu

Sesungguhnya semua ilmu pengetahuan adalah milik-NYA, Dialah Al Aliim. Dialah pemilik semua jawaban dan dengan kasih-NYA Ia menurunkan setetes ilmu di dunia ini agar manusia memiliki makna yang istimewa, supaya manusia memiliki perangkat untuk tampil sebagai khalifah, agar manusia dapat mengelola dengan baik (mengambil dan memelihara) semua rizki yang dikaruniakan-NYA di dunia ini.

Dari semua ilmu, ulumul Quranlah yang paling utama. Dari semua kitab (buku) AlQuranlah yang paling mulia. Jika kita mempelajari Al-Quran dan berinteraksi dengannya, sejatinya kita sedang mengambil jalan kemuliaan dihadapan Allah sang pemilik ilmu.

Dan karenanyalah Insya Allah sang penghafal Al-Quran akan mendapat jaminan kemudahan dari Allah SWT dalam dua bentuk, yaitu ; kemudahan mempelajari Al-Quran (QS Al-Qamar 17) dan karunia kemudahan pada ilmu-ilmu yang lain (QS Al-Mujadilah 11).

“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar 17)

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah 11).

Andai seseorang ingin mempelajari teori quantum pada ilmu fisika. Ia harus menghabiskan waktu sebulan agar dapat memahaminya dengan baik, namun apabila ia menggunakan sebagian waktu dan tenaganya untuk menghafal Quran, maka Allah yang rahiim sang pemilik ilmu dan kemudahan itu akan mengganti waktu dan jerih payahnya menghafal Al-Quran itu dengan cara membuka kecerdasan sang penghafal Quran, sehingga dalam waktu lebih singkat – seminggu- ia sudah berhasil memahami dengan baik teori Quantum. Inilah yang dialami oleh para tokoh Islam yang tidak hanya dikenal sebagai Ulama besar, tetapi sekaligus juga ilmuwan dari berbagai bidang.

Mengherankan ada manusia yang bisa sedemikian banyak memahami berbagai bidang ilmu, misalnya Imam Ghazali adalah seorang teolog, filsuf (filsafat Islam), ahli fikih, ahli tasawuf, pakar psikologi, logika bahkan ekonom dan kosmologi. Atau Ibnu Sina seorang ulama yang sedari kecil mempelajari ilmu tafsir, Fikih, Tasawuf, tiba-tiba bisa disebut sebagai pakar kedokteran dan digelari ‘Medicorium Principal’(Rajanya ara dokter) dan buku yang ditulisnya ; Al-Qanun Fith-Thib menjadi bahan pelajaran semua dokter didunia.

Faktor penting yang menjadikan mereka mampu melanglang buana keilmuan dan melintasi cabang keilmuan yang seolah (bagi mereka yang dikotomis -suka memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum) berseberangan ini adalah karena mereka menghafal dan mempelajari Al-Quran sehingga Allah SWT sang pemilik ilmu membukakan bagi mereka pintu gerbang ilmu-ilmu lainnya.

Menghafal adalah dasar dari ilmu pengetahuan

Menghafal adalah dasar dari semua aktivitas otak. setelah data terparkir dengan baik, baru dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut ; misalnya identifikasi, pengklasifikasian berdasarkan kesamaan, membandingkan dan mencari perbedaan, mengkombinasikan persamaan dan atau perbedaan untuk melahirkan sesuatu yang baru, dan lain sebagainya.

Misalnya abjad, seorang anak harus menghafalnya terlebih dahulu baru bisa digunakan untuk membaca dan menulis. Angka harus dihafal dahulu sebelum dipermainkan dalam bidang matematika. Setiap pasal dan ayat dalam undang-undang harus dihafal dahulu sebelum digunakan para hakim, pengacara, dan penuntut di ruang pengadilan.

Menghafal adalah dasar dari semua ilmu. Tanpa materi hafalan tidak ada data yang bisa diolah, tanpa olahan data maka ilmu pengetahuan tidak akan pernah ada. Menghafal adalah tangga pertama ilmu pengetahuan, menghafal adalah langkah wajib untuk cerdas.

Ada yang mengatakan bahwa menghafal akan melemahkan kemampuan analisa si anak, pernyataan ini benar, kalau si anak hanya disuruh menghafal saja tanpa melanjutkan ke proses lainnya. Menghafal adalah tahapan awal berinteraksi dengan Al-Quran, sesudah menghafal dan belajar membaca dengan benar maka harus disambung pada fase berikutnya yaitu mempelajari maknanya baik harafiah maupun penafsirannya, setelah itu mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi maupun yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat, seorang muslim yang cerdas akan menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk menjawab semua persoalan, lalu fase terakhir adalah mengajarkannya kepada semua orang muslim. Itulah tahapan berinteraksi dengan Al-Quran yang benar. proses ini berkelanjutan tak boleh berhenti, tidak boleh hanya menghafalnya saja, atau hanya belajar membaca saja.

Erm....

วันอาทิตย์ที่ 31 กรกฎาคม พ.ศ. 2554

Siapkan Diri Kita untuk Ibadah di Bulan Ramadhan

Khutbah Jumat

oleh Ustadz Hartono Ahmad Jaiz


إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, marilah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berkenan memberikan berbagai keni’matan bahkan hidayah kepada kita.

Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya.

Allah Ta’ala berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [البقرة/183]

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS Al-Baqarah: 183).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Ta'ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.

Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan.(Tafsir Ibnu Katsir 1/313).

Imam As-sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, lafal { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } agar kamu bertaqwa, karena puasa itu merupakan satu penyebab terbesar untuk taqwa. Karena shiyam itu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di antara cakupan taqwa adalah bahwa shiyam itu meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah berupa makan, minum, jima’ (bersetubuh) dan semacamnya yang nafsu manusia cenderung kepadanya. Itu semua untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan meninggalkan hal-hal (yang biasanya dibolehkan itu) adalah dengan mengharap pahala-Nya. Itulah di antara amalan taqwa.

Dan di antaranya bahwa orang yang shiyam itu melatih diri untuk menyadari pengawasan Allah Ta’ala, maka ia meninggalkan apa yang dicenderungi nafsunya pada masa dirinya mampu melakukannya (melanggarnya), (namun hal itu tidak dilakukannya) karena kesadarannya terhadap pengawasan Allah atasnya. Dan di antaranya, bahwa shiyam itu mempersempit laju peredaran syetan, karena syetan beredar pada anak Adam (manusia) dalam aliran darah, maka dengan shiyam itu melemahkan operasinya dan mengurangi kemaksiatan. Diantaranya pula bahwa orang yang shiyam pada umumnya banyak taatnya, sedang taat itu adalah bagian dari taqwa. Dan diantaranya bahwa orang kaya apabila dia merasakan perihnya lapar maka mendorong dirinya untuk menolong orang-orang fakir lagi papa, dan ini termasuk bagian dari taqwa. (Tafsir as-Sa’di, juz 1 halaman 86).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, ketika seseorang meningkat kesadarannya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, dan meningkat kesadarannya bahwa dirinya senantiasa dalam pengawasan Allah, maka saat itulah dia dalam kondisi mendekat pada Allah. Lantas disertai pula kesadaran untuk menolong orang-orang yang kesulitan hidupnya, maka berarti meninggikan tingkat kasih sayangnya kepada makhluk. Yang hal itu akan menjadikan dia disayangi oleh Allah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


« الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ ».

"Orang-orang yang menyayangi (penduduk bumi) maka mereka disayangi Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi maka kalian akan disayangi Yang di langit." (HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

Jama’ah jum’ah rahimakumullah, ketika seorang hamba menjalankan shiyam Ramadhan dengan penuh ketaatan kepada Allah, menyadari pengawasan Allah, dan menyadari perihnya penderitaan manusia miskin lagi sengsara hingga menyayanginya dengan menolongnya, maka di situlah puncak ketaatan manusia sebagai hamba Allah. Yakni taat kepada Rabbnya, dan kasih sayang pada manusia lemah.

Lafal { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } agar kamu bertaqwa, insya Allah dapat diraih oleh hamba Allah yang seperti itu.

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, untuk meraih derajat taqwa seperti itu, tentunya perlu menghindari hal-hal yang menghalanginya. Baik itu yang bersifat godaan hawa nafsu, godaan syetan, maupun hilangnya kasih sayang terhadap manusia. Dan yang paling menonjol perusakannya terhadap ibadah puasa adalah hal yang sekaligus merusak hubungan kedua-duanya, yakni merusak hubungan terhadap manusia dan sekaligus merusak hubungan kepada Allah Ta’ala. Di antaranya adalah berkata dusta dan pratek dusta. Sehingga shiyam Ramadhan yang nilainya sangat tinggi itu langsung rusak gara-gara dusta.

Nabi  bersabda:

(( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ )) رواه البخاري.

"Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Al Bukhari).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, bagaimana Allah akan menerima shiyam orang yang berkata dan berbuat dusta alias bohong. Shiyam adalah mendekatkan diri dengan taat, sampai mau untuk meninggalkan hal-hal yang aslinya boleh dilakukan ketika tidak berpuasa, seperti makan, minum, dan jima’. Ketaatan meninggalkan hal yang aslinya bukan haram, ketika ada perintah wajib ditinggalkan, maka ditinggalkan. Ini mestinya diikuti dengan sikap, bahwa yang mubah (boleh) saja harus ditinggalkan, apalagi yang haram, maka lebih harus ditinggalkan. Namun ketika yang haram tetap dilakukan padahal sudah payah-payah meninggalkan yang mubah, itu sikap yang tidak tahu diri. Merusak pekerjaan diri sendiri.

Kenapa? Karena yang mubah saja harus ditinggalkan. Mestinya yang haram lebih ditinggalkan. Lha kok malah dikerjakan, itu namanya tidak tahu diri. Maka tepat sekali ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Al Bukhari).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Satu hadits yang singkat, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Al Bukhari) itu mengandung makna yang sangat luas. Coba kita bayangkan. Ketika kita shiyam Ramadhan, namun makan dan minum kita, bahkan pakaian yang kita pakai untuk berpuasa maupun untuk shalat; bila hal itu dihasilkan dari perkataan dan perbuatan dusta, maka jelas tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Bahkan do’a kita pun tidak dikabulkan-Nya.

Di hari-hari biasa selain Ramadhan pun, masalah makanan dan minuman haram itu sangat harus dijauhi. Baik haram karena dzat barangnya, maupun haram karena cara menadapatkannya ataupun mengolahnya (memprosesnya).

Ummat Islam wajib berhati-hati terhadap makanan, minuman, dan apa saja yang diharamkan. Lebih-lebih mengenai makanan dan minuman haram. Karena dampaknya sangat fatal, di antaranya ketika di dunia, do’a dari orang yang makan dan minumnya serta pakaiannya haram maka tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Sedang di akherat, daging yang tumbuh dari yang haram itu nerakalah yang lebih berhak atasnya.

Dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

(كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ). (رواه أحمد والترمذي والدارمي).

"Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih utama dengannya." (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ad-Darimi).


وعن أبي هريرة - رضي الله عنه - قال : قال رسولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - : (( أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً ، وإنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِينَ . فقالَ تعالى :{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً } [ المؤمنون : 51 ] ، وقال تعالى : { يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } [ البقرة : 172 ] . ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أشْعثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ : يَا رَبِّ يَا رَبِّ ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، ومَلبسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالْحَرَامِ ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟ رواه مسلم .

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shalllahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkan oleh para rasul.

Allah Ta’ala berfirman:


{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً } [ المؤمنون : 51 ]

"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. (QS Al-Mukminun: 51). Dan Allah ta’ala berfirman:


{ يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } [ البقرة : 172 ] .

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu (QS Al-Baqarah: 172).

"Lalu Rasulullah menuturkan tentang seorang lelaki yang pergi mengembara hingga rambutnya kusut berdebu, lalu dia mengangkat tangan ke arah langit sambil berdo’a: Ya Rabbi, ya Rabbi, berilah aku sesuatu, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, dan dimakani dengan yang haram pula. Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan karena demikian. (HR Muslim).

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sulit tidur. Kemudian isteri beliau bertanya, “apa yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa tidur?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:


« إِنِّى وَجَدْتُ تَحْتَ جَنْبِى تَمْرَةً فَأَكَلْتُهَا وَكَانَ عِنْدَنَا تَمُرٌ مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَخَشِيتُ أَنْ تَكُونَ مِنْهُ ».

"Sesungguhnya saya menemukan di bawah bahu saya sebutir kurma, maka saya makan, sedangkan di sisi kami ada kurma-kurma dari kurma sedekah (zakat), maka saya takut jika kurma tersebut adalah kurma dari sedekah.” (HR Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma).

عن عائشة رضي الله عنها ، قالت : كَانَ لأبي بَكر الصديق - رضي الله عنه - غُلاَمٌ يُخْرِجُ لَهُ الخَرَاجَ ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ ، فَجَاءَ يَوْماً بِشَيءٍ ، فَأكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ ، فَقَالَ لَهُ الغُلامُ : تَدْرِي مَا هَذَا ؟ فَقَالَ أَبُو بكر : وَمَا هُوَ ؟ قَالَ : كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لإنْسَانٍ في الجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الكَهَانَةَ ، إِلاَّ أنّي خَدَعْتُهُ ، فَلَقِيَنِي ، فَأعْطَانِي لِذلِكَ ، هَذَا الَّذِي أكَلْتَ مِنْهُ ، فَأدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ . رواه البخاري .

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Abu Bakar mempunyai budak sahaya yang mengeluarkan kharaj (sesuatu yang diwajibkan tuan atas budaknya untuk dibayar/ ditunaikan tiap hari) untuknya, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memakan dari kharajnya itu. Tiba-tiba budak itu pada suatu hari membawa makanan, maka dimakan oleh Abu Bakar, kemudian budak itu bertanya: “Tahukah kau, apa ini?”

Abu Bakar berkata: “Apa dia?” Budak itu berkata: “Pada masa jahiliyah dulu saya pernah berlagak jadi dukun, padahal saya tidak mengerti perdukunan, hanya semata-mata mau menipu. Maka kini dia bertemu padaku mendadak memberi padaku makanan yang kau makan itu.” Maka segera Abu Bakar memasukkan jarinya dalam mulut, sehingga memuntahkan semua isi perutnya. (Shahih Al-Bukhari nomor 3842, dan di Kitab Riyadhus Shalihin bab Wara’ dan meninggalkan syubhat).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohi, bukan di bulan Ramadhan saja sebegitu hati-hatinya terhadap makanan. Hingga hanya karena khawatir yang dimakan itu satu butir kurma yang dikhawatirkan termasuk kurma sedekah (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibolehkan menerima sedekah) maka beliau jadi sulit tidur karena menggelisahinya.

Contoh lainnya, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sampai memuntahkan isi perutnya semua karena ada makanan yang terlanjur masuk dikatakan budaknya sebagai hasil praktek perdukunan sang budak.

Itu semua tidak diriwayatkan berkaitan dengan Ramadhan, artinya di hari-hari biasa. Itupun makanan yang dikhawatirkan tidak halal, sangat dijauhi. Karena memang ancamannya, di samping ibadah dan do’a akan tertolak, masih pula diancam neraka. Maka bagaimana pula bila berpuasa Ramadhan, mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan bekal makanan dan minuman yang haram? Baik dzatnya maupun cara memperolehnya ataupun memprosesnya?

Semoga kita dihindarkan dari aneka cara tipu daya yang hanya akan merugikan kita sendiri.

Apabila kita dapat lulus dari aneka keharaman, dusta, tipuan, tingkah palsu dan semacamnya, dan beribadah ikhlas untuk Allah, maka insya Allah amaliyah Ramadhan akan mendapatkan berkah. Karena sebenarnya Ramadhan adalah bulan yang diberkahi, yakni banyak kebaikannya.

كَانَ رَسُوْلُ الله  يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ يَقُوْلُ: (( قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، كَتَبَ الله عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، فِيْهِ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوِابُ الجَحِيْمِ، وَتُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ، فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ )) رواه أحمد والنسائي. تحقيق الألباني ( صحيح ) انظر حديث رقم : 55 في صحيح الجامع .

"Rasulullah  biasanya memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para syetan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa.” (H.R. Ahmad dan An Nasa’I, shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ nomor 55).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, Ramadhan, bulan yang mulia, bulan al-Qur'an, bulan shiyam, bulan bertahajjud dan qiyamullail, bulan kesabaran dan takwa, bulan yang terdapat di dalamnya suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan di mana syetan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.

Bulan saat amal kebaikan dilipat gandakan dan penuh berkah dalam ketaatan, bulan pahala dan keutamaan yang agung. Maka seyogyanya setiap yang mengetahui sifat-sifat tamu ini untuk menyambutnya sebaik mungkin, mempersiapkan berbagai amal kebajikan agar memperoleh keberuntungan yang besar dan tidak berpisah dengan bulan itu, kecuali ia telah menyucikan ruh dan jiwanya.

Allah Ta'ala berfirman:


قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)

Artinya, "Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu" (QS.asy-Syams: 9)

Kaum salaf, pendahulu Ummat ini telah memahami betapa tinggi nilai tamu tersebut (Ramadhan). Oleh karena itu, diriwayatkan, bahwa mereka berdo'a kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya, dan apabila mereka mengakhirinya, mereka menangis dan berdo'a kepada Allah agar amal mereka pada bulan-bulan yang lain diterima, demikian seperti dinukil Ibnu Rajab rahimahullah. (Nasyarah,"Kaifa nastaqbilu Ramadhan" (Abu Mush'ab Riyadh bin Abdur Rahman al-Haqiil).

Apabila kita mempersiapkan diri untuk ibadah kepada Allah Ta’ala di bulan yang diberkahi yakni Ramadhan dengan menghindari aneka hal yang haram dan membatalkan pahala, maka insya Allah derajat taqwa akan kita raih. Sedang Allah telah memberi pujian kepada orang yang taqwa:


إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [الحجرات/13]

"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS Al-Hujurat/ 49: 13).

Dan semoga kita terhindar dari ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوع

"Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya, kecuali lapar". (HR. Ahmad dan terdapat dalam Shahih Al Jami' No. 3490).


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ .

===============

Khutbah kedua:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ. أَمَّا بَعْدُ؛ وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَ يَسْمَعُونَ
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا . وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اَلْعَالَمِينَ .
Lainnya

วันอาทิตย์ที่ 24 กรกฎาคม พ.ศ. 2554

Perbandingan Antara Masjid Dengan Gereja

oleh Buya Hamka



Dalam Islam tidak ada susunan cara kegerejaan. Tidak ada Paus, lalu Kardinal, dan Uskup. Setiap Masjid berdiri sendiri dengan pengurusnya sendiri. Di negeri-negeri Islam yang telah mempunyai susunan pemerintahan modern saja diadakan Kementerian Agama atau Kementerian Wakaf, yang mengadakan tilikan dan pemiliharaan Masjid-masjid.

Menteri Agama atau Menteri Wakaf itu bisa saja exit (keluar) dari jabatan Menterinya kalau terjadi krisis Kabinet atau Presiden (kepala negara) mengadakan reshuffle. Demikian juga petugas dalam masjid itu. Sejak dari Imam dan Khatibnya, tidaklah mereka itu 'Penguasa Rohaniyah' tempat jama'ah mengakui dosa lalu memberi ampunan dengan perantara mereka, lalu mereka berhak memberi ampun. Bahkan setiap orang Islam, dibuka oleh Allah pintu untuk berhubungan langsung dengan Allah, memohon ampun meminta taubat.

Imam-iman dalam Masjid pun, siapa saja berhak menjadi imam asal lidahnya lebih fasih dan dia disegani. Imam Rawatib di tiap masjid, bukanlah kepala agama, melainkan orang-orang yang ditugaskan oleh jama'ahnya atau oleh penguasa setempat mendirikan jama'ah lima waktu, supaya jangan sampai kosong.

Seorang Ulama dalam Islam bukanlah sebagai seorang Pendeta dalam Gereja Katholik atau lainnya. Ulama Islam adalah orang biasa yang mempunyai 'profesi' sendiri. Dia adalah seorang dari antara orang banyak bukan orang istimewa. Keseganan orang kepada mereka, hanyalah kalau Ulama itu memimpin dan membimbing mereka secara kerohanian. Dan tumbuhnya Ulama itu bukanlah karena diangkat atau diakui oleh suatu badan rohaniah atau satu masjid.

Setelah membandingkan di antara 'Kekuasaan Rohaniyah' Pendeta-pendeta dan Hierarchie kepercayaan itu dengan keadaan masjid dalam Islam, teranglah bahwasanya 'Pemisahan Negara Dengan Gereja' di Barat tidak dapat disandingkan untuk 'Memisahkan Negara dari Masjid' atau yang selalu disebut-sebut di negri kita ini sekarang, ialah 'Memisahkan Negara dengan Agama'. Menyamakan dua hal yang berbeda, adalah kena oleh pepatah 'Asing biduk, kalang di letak'.

Dalam Qur'an tegas diwajibkan agar setiap urusan dijalankan menurut Syari'at. Termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Kalau al-Qur'an menerangkan secara umum, As-Sunnah memberikan arti cara pelaksanaannya. Mana yang belum tegas menjelaskan:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

"Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun, melainkan supaya dita'ati dengan izin Allah." (QS. An-Nisaa' [4] : 64)

Dalam keteladanan Rasul Shallahu alaihi was sallam, Allah SWT berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

"Apa yang dibawa oleh Rasul, hendaklah kamu ambil. Dan apa yang dia kamu daripadanya, hendaklah hentikan." (QS. al-Hasyr [59] : 7)

Di ayat lainnya, Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu batalkan amalan kamu." (QS. Muhammad [47] : 33)

Kemudian Allah Ta'ala menambahkannya :

الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

"Apakah tidak engkau lihat orang-orang yang mengaku (dengan mulut) bahwa mereka percaya kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan dari yang sebelum engkau. Mereka ingin meminta hukum kepad taghut, padahal mereka diperintah supaya tidak mempercayainya. Dan setan ingin sekali menyesatkan mereka. Sampai sesesat-sesatnya." (QS. An-Nisaa' [4] : 60)

Mereka mengakui percaya hanya dengan mulut, dalam bahasa disebut Yaz'amuna! Mengaku dengan mulut percaya kepadaapa yang diturunkan kepada Nabi SAW dan kepada yang diturunkan kepada Nabi-nabi yang terdahulu. Tetapi, ketika hendak meminta keputusan hukum, bukanlah mereka meminta kepada Allah, melainkan kepada taghut. Yaitu penguasa yang berlaku dan bertindak sewenang-wenang, sekehendak hati, hukum rimba. Padahal, seorang yang beriman wajib menentang segala macam pertaghutan di dunia ini. Dan bila sekali merek atelah mengikut taghut dan meninggalkan hukum Tuhan mereka akan sesat selama-lamanya.

Orang yang beriman sejati kepada Muhammad Shallahu alaihi wassallam tidaklah mungkin meninggalkan hukum yang diajarkan Muhammad Shallahu alaihi wassallam, lalu menukarnya dengan yang lain. Tidaklah pantas mereka meminta hukum kepada taghut.

Kadang-kadang manusia telah menjual keyakinan dan agamanya kepada intrik-intrik dan ambisi penguasa, ambisi partai, sehingga hilang hakekat kebenaran. kadang-kadang dijalankan suatu peraturan yang terang melanggar ketentuan agama, tetapi terpaksa diterima juga, karena telah terlalu banyak berhutang budi kepad kaum Kapitalis.

Orang yang beriman didorong oleh kekuatan imannya tidaklah akan ragu-ragu menolak peraturan dan hukum taghut itu. Tuhan telah memerintahkan kepada Mu'min supaya menolak dan menentang taghut! Bagaimana Mukmin akan tunduk kepada hukumnya? Kalau mereka tunduk kepada taghut, maka ayat ini telah menjelaskan bahwa imanya hanya dibibir saja. Demikian juga orang yang menerima hukum-hukum buatan manusia yang terang bertentangan dengan hukum Allah. Kalau mereka turuti peranturan demikian, mereka telah disesatkan oleh setan.

Iman tidaklah sempurna sebelum si Mu'min tunduh patuh dan ridha menerima hukum Allah.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka tidaklah, demi Tuhan engkau tidaklah mereka beriman, sebelum mereka mentahkimkan engkau pada perkara-perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri keberatan menerima keputusan engkau, dan mereka menyerah, sebenar menyerah." (QS. An-Nisaa' [4] : 65)

Tidak ada jalan lain bagi seorang Mu'min, melainkan hanya tunduk dan patuh setelah jatuh hukum dari al-Qur'an atau as-Sunnah. Karena imannya itulah yang mendorongnya mengatur langkah menurut tuntutan syara'.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

"Hai orang-orang yang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan kepada pemegang kuasa di antara kamu. Maka jika berselisih kamu di dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan kepada Rasul, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat." (QS. An-Nisa' [4] : 69)

Dalam ayat ini diberikanlah tuntutan tegas kepada seorang Mu'min. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW diperintahkan jelas. Tetapi, kepada Ulil Amri atau pemegang kekuasaan (penguasa) di antara kamu, tidak disebutkan mesti taat, sebab dengan kekuasaannya itu dengan sendirinya ketaatan telah timbul.

Itulah asas yang paling pokok di dalam Islam, yang sangat berbeda dengan ajaran Gereja yang memberikan kewenangan dan ketaatan kepada Paus, Kardinal, dan Uskup. Wallahu'alam.

วันจันทร์ที่ 13 มิถุนายน พ.ศ. 2554

Perintah Belajar Sejarah dalam Surat Al-Fatihah




Surat al-Fatihah, awal surat dalam al-Qur'an itu ternyata menyiratkan perintah untuk belajar sejarah. Mungkin banyak yang tidak sadar, walau setiap hari setiap muslim pasti mengucapkannya. Tidak sekali bahkan. Tetapi banyak yang tidak menyadari sebagaimana banyak yang tidak mempunyai kesadaran untuk membaca, mengkaji, mendalami sejarah Islam.
Bermula dari doa seorang muslim setiap harinya:
"Tunjukilah kami jalan yang lurus." (QS. al-Fatihah [1] : 6)
Jalan lurus, yang oleh para mufassir ditafsirkan sebagai dienullah Islam itu, dengan gamblang digambarkan dengan ayat selanjutnya dalam al-Fatihah:
"(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
Di sinilah perintah tersirat untuk belajar sejarah itu bisa kita dapatkan. Ada tiga kelompok yang disebutkan dalam ayat terakhir ini;
1. Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah
2. Kelompok yang dimurkai Allah
3. Kelompok yang sesat
Ketiga kelompok ini adalah generasi yang telah berlalu. Generasi di masa lalu yang telah mendapatkan satu dari ketiga hal tersebut.
Kelompok pertama, generasi yang merasakan nikmat Allah.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir 1/140, al-Maktabah al-Syamilah) menjelaskan bahwa kelompok ini dijelaskan lebih detail dalam Surat an-Nisa: 69-70,
"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. an-Nisa [4] : 69-70)
"Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui."
Ada kata penghubung yang sama antara ayat ini dengan ayat dalam al-Fatihah di atas. Yaitu kata (أنعم) yaitu mereka yang telah dianugerahi nikmat. Sehingga Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat dalam al-Fatihah tersebut dengan ayat ini.
Mereka adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada' dan para shalihin. Kesemua yang hadir dalam dalam doa kita, adalah mereka yang telah meninggal.
Ini adalah perintah tersirat pertama agar kita rajin melihat sejarah hidup mereka. Untuk tahu dan bisa meneladani mereka. Agar kita bisa mengetahui nikmat seperti apakah yang mereka rasakan sepanjang hidup. Agar kemudian kita bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka merasakan.
Perjalanan hidup mereka tercatat rapi dalam sejarah. Ukiran sejarah abadi mengenang, agar menjadi pelajaran bagi setiap pembacanya.
Kelompok kedua, mereka yang dimurkai Allah.
Imam Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 1/141, al-Maktabah al-Syamilah) kembali menjelaskan bahwa mereka yang mendapat nikmat adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu dan amal. Adapun kelompok yang dimurkai adalah kelompok yang mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal. Sehingga mereka dimurkai.
Kelompok ini diwakili oleh Yahudi. Sejarah memang mencatat bahwa mereka yang menentang Nabi Muhammad SAW sekalipun, sesungguhnya tahu dengan yakin bahwa Muhammad SAW adalah Nabi yang dijanjikan dalam kitab suci mereka akan hadir di akhir zaman.
Sekali lagi, mereka bukanlah masyarakat yang tidak berilmu. Justru mereka telah mengantongi informasi ilmu yang bahkan belum terjadi dan dijamin valid. Informasi itu bersumber pada wahyu yang telah mereka ketahui dari para pemimpin agama mereka.
"Demi Allah, sungguh telah jelas bagi kalian semua bahwa dia adalah Rasul yang diutus. Dan dialah yang sesungguhnya yang kalian jumpai dalam kitab kalian...." kalimat ini bukanlah kalimat seorang shahabat yang sedang berdakwah di hadapan Yahudi. Tetapi ini adalah pernyataan Ka'ab bin Asad, pemimpin Yahudi Bani Quraidzah. Dia sedang membuka ruang dialog dengan masyarakatnya yang dikepung oleh 3.000 pasukan muslimin, untuk menentukan keputusan yang akan mereka ambil.
Maka benar, bahwa Yahudi telah memiliki ilmu yang matang, tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Inilah yang disebut oleh Surat al-Fatihah sebagai masyarakat yang dimurkai. Para ulama menjelaskan bahwa tidaklah kaum Bani Israil itu diberi nama Yahudi dalam al-Qur'an kecuali dikarenakan setelah menjadi masyarakat yang rusak.
Rangkaian doa kita setiap hari ini menyiratkan pentingnya belajar sejarah. Untuk bisa mengetahui detail bangsa dimurkai tersebut, bagaimana mereka, seperti apa kedurhakaan mereka, ilmu apa saja yang mereka ketahui dan mereka langgar sendiri, apa saja ulah mereka dalam menutup mata hati mereka sehingga mereka berbuat tidak sejalan dengan ilmu kebenaran yang ada dalam otak mereka. Sejarah mereka mengungkap semuanya.
Kelompok ketiga, mereka yang sesat.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa bagian dari penafsirannya adalah masyarakat Nasrani. Masyarakat ini disebut sesat karena mereka memang tidak mempunyai ilmu. Persis seperti orang yang hendak berjalan menuju suatu tempat tetapi tidak mempunyai kejelasan ilmu tentang tempat yang dituju. Pasti dia akan tersesat jalan.
Kelompok ketiga ini kehilangan ilmu walaupun mereka masih beramal.
Masyarakat ini mengikuti para pemimpin agamanya tanpa ilmu. Menjadikan mereka perpanjangan lidah tuhan. Sehingga para pemimpin agamanya bisa berbuat semaunya, menghalalkan dan mengharamkan sesuatu.
Sebagaimana yang jelas tercantum dalam ayat:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. at-Taubah [9] : 31)
Kisah' Adi bin Hatim berikut ini menjelaskan dan menguatkan ayat di atas,
Dari 'Adi bin Hatim radhiallahu anhu berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan di leherku ada salib terbuat dari emas, aku kemudian mendengar beliau membaca ayat: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.Aku menyatakan: Ya Rasulullah sebenarnya mereka tidak menyembah rahib-rahib itu.Nabi menjawab: Benar. Tetapi para rahib itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, maka itulah peribadatan kepada para rahib itu. (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dihasankan oleh Syekh al-Albani)
Bagaimanakah mereka masyarakat nasrani menjalani kehidupan beragama mereka? Bagaimanakah mereka menjadikan pemimpin agama mereka menjadi perwakilan tuhan dalam arti boleh membuat syariat sendiri? Di manakah kesesatan mereka dan apa efeknya bagi umat Islam dan peradaban dunia?
Semuanya dicatat oleh sejarah.
Inilah doa yang selama ini kita mohonkan dalam jumlah yang paling sering dalam keseharian kita.
Al-Fatihah yang merupakan surat pertama. Bahkan surat pertama yang biasanya dihapal terlebih dahulu oleh masyarakat ini. Surat utama yang paling sering kita baca. Surat yang mengandung doa yang paling sering kita panjatkan.
Siratan perintah untuk belajar sejarah sangat kuat terlihat. Maka sangat penting kita memperhatikan kandungan surat yang paling akrab dengan kita ini.
Agar terbukti dengan baik dan benar doa kita;
"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS. al-Fatihah [1] : 6-7)

Dari : Era

วันอังคารที่ 7 มิถุนายน พ.ศ. 2554

Rabbaniyyah Versus Materialisme

Selasa, 07/06/2011

Di dalam bukunya yang berjudul Fiqh Da’wah jilid dua, Syaikh Musthafa Masyhur, menulis mengenai dua pemahaman mendasar yang senantiasa bertarung dalam kehidupan manusia. Kedua pemahaman tersebut ialah Rabbaniyyah versus Materialisme. Rabbaniyyah merupakan sebuah ajaran yang senantiasa dianut dan disebarluaskan oleh kaum beriman. Sedangkan Materialisme adalah ajaran yang dianut oleh kaum kafir dan munafik lalu mereka senantiasa mempromosikannya.



Inti daripada ajaran Rabbaniyyah ialah menjalani kehidupan di dunia yang fana ini dengan menjadikan Allah سبحانه و تعالى Rabbul ‘aalamiin sebagai pusat perhatian, puncak kebahagiaan bahkan pusat pengabdian. Sedemikian rupa sehingga panganut Rabbaniyyah hanya mau menjalankan kehidupan di dunia berdasarkan bimbingan petunjuk Allah سبحانه و تعالى beserta utusan-Nya yakni Rasulullah صلى الله عليه و سلم . Bahkan tolok-ukur keberhasilan kaum penganut Rabbaniyyah ialah seberapa jauh manusia dan masyarakat berjalan konsisten mengikuti petunjuk Rabb mereka, Sang Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta.

Sedangkan ajaran Materialisme ialah menjalani kehidupan di dunia yang fana ini dengan menjadikan berbagai materi ciptaan Allah سبحانه و تعالى , bahkan terkadang hasil karya manusia, sebagai pusat perhatian, puncak kebahagiaan bahkan pusat pengabdian. Sedemikian rupa sehingga kaum penganut Materialisme memandang bahwa tolok-ukur keberhasilan hidup di dunia ialah seberapa jauh manusia dan masyarakat dapat terpuaskan hidupnya secara material. Manusia merasa puas dan bahagia bilamana bebrbagai kebutuhan syahwat-jasadinya telah terpenuhi. Tidak perlu mengkaitkan dengan Allah سبحانه و تعالى Sang Pencipta berbagai materi tersebut. Penganut Materialisme pada ghalibnya terdiri dari kaum ateis alias tidak percaya kepada Allah سبحانه و تعالى dan tidak menganut agama. Tetapi di zaman penuh fitnah ini bisa juga penganut materialisme terdiri dari kaum yang mengaku bertuhan Allah سبحانه و تعالى bahkan beragama Islam, hanya saja mereka tidak menjadikan Allah سبحانه و تعالى sebagai pusat perhatian dan tujuan kehidupan, apalagi memandang perlu menjalani hidup berdasarkan petunjukNya.

Kemerosotan Rabbaniyah dewasa ini berbanding terbalik dengan semakin memuncaknya dominasi Materialisme dalam kehidupan ummat manusia pada umumnya, ummat Islam pada khususnya. Kelalaian masyarakat dunia akan hakikat adanya Rabb yang mencipta, memiliki, memelihara dan mengawasi mereka, telah menyebabkan masyarakat menjadi hina bagaikan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Semua ini tidak terlepas dari usaha musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى yang selalu bertujuan menjauhkan ummat Islam dari petunjuk Allah سبحانه و تعالى yaitu ajaran Islam. Namun sebab yang paling hakiki ialah karena kaum muslimin sendiri membiarkan dirinya memperturutkan kemauan musuh Allah سبحانه و تعالى sekaligus musuh orang beriman, yakni syetan.

لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا

وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ

“...mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS Al-A’raf 179)

Manusia hidup antara dua kekuatan yang saling tarik menarik. Antara tuntutan-tuntutan syahwat jasadi yang rendah dengan tuntutan-tuntutan ruh yang mulia dan tinggi.

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“...dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams 7-10)

Orang beriman sibuk memenuhi tuntutan-tuntutan ruhnya sehingga mereka disebut Allah سبحانه و تعالى sebagai “orang yang mensucikan jiwanya”. Merekalah yang beruntung. Sedangkan kaum kafir dan munafiq sibuk memenuhi berbagai tuntutan syahwat-jasadinya sehingga Allah سبحانه و تعالى sebut mereka sebagai “orang yang mengotori jiwanya”. Merekalah kaum yang merugi. Kaum Rabbaniyyun (penganut ajaran Rabbaniyyah) itulah kaum yang beriman. Sedangkan kaum Materialis (penganut ajaran Materialisme) itulah kaum kafir dan munafiq.

Kaum Rabbaniyyun sibuk memperjuangkan tegaknya berbagai nilai-nilai yang bersumber dari Allah سبحانه و تعالى Rabbul ‘aalamiin. Mereka sangat yakin bahwa hanya dan hanya dengan menegakkan ajaran Islam yang bersumber dari Rabbul ‘aalamiin sajalah hidup ummat manusia bakal menjadi baik dan benar. Malah hanya dengan jalan itu sajalah Islam baru benar-benar akan dirasakan oleh semua orang menjadi Rahmatan lil ‘aalamin (rahmat bagi segenap alam semesta). Mereka tidak rela mencampuradukkan agama Rabbul ‘aalamiin dengan ajaran produk manusia karena mereka sangat yakin bahwa ajaran Allah سبحانه و تعالى sudah pasti sempurnanya. Jika mereka menambahkan ajaran lain kepada ajaran Allah سبحانه و تعالى dengan maksud agar menghasilkan sebuah pedoman hidup yang lebih akomodatif (dapat memuaskan bukan saja kaum muslimin tetapi juga kaum non-muslim), maka itu sama saja artinya dia telah bersangka buruk kepada Allah سبحانه و تعالى . Berarti ia memandang bahwa agama Allah سبحانه و تعالى tidak cukup sempurna untuk mampu mengayomi seluruh ummat manusia dengan segenap keaneka-ragamannya.

Sedangkan kaum Materialis memandang yang penting adalah memastikan bahwa berbagai tuntutan syahwat-jasadinya terpenuhi. Oleh karenanya, mereka tidak pernah memperdulikan eksistensi Allah سبحانه و تعالى dalam kehidupan. Mereka hanya tahunya kehidupan sebatas dunia yang fana. Mereka sibuk menguji-coba berbagai pedoman hidup produk manusia. Kalaupun mereka sempat menghiraukan agama Allah سبحانه و تعالى biasanya mereka berusaha mencocok-cocokkannya dengan ajaran produk manusia. Yang jelas, dominasi kehidupan dunia begitu hebat mencengkeram cara berfikir kaum Materialis. Mereka sangat ragu bahkan mengingkari adanya kehidupan lain di luar dunia fana ini. Mereka tidak percaya adanya alam akhirat.

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ar-Ruum 7)

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلا الدَّهْرُ

“Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa",(QS Al-Jaatsiyah 24)

วันศุกร์ที่ 27 พฤษภาคม พ.ศ. 2554

Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya Maju?

Jumat, 27/05/2011 18:46



Pertanyaan di atas merupakan judul sebuah buku terkenal karya Amir Syakib Arsalan yang ditulis pada awal abad ke dua puluh. Beliau menulisnya sebagai hasil analisanya terhadap kondisi terpuruk dan terpecah-belahnya ummat Islam pada masa itu. Sesudah hampir satu abad sejak ditulis, ternyata isi bukunya masih cukup relevan dengan realitas ummat Islam dewasa ini.

Beliau menjadi saksi sejarah keruntuhan Kesultanan Turki Utsmani serta semakin mencengkeramnya fihak imperialis penjajah Eropa di berbagai negeri Islam. Beliau mencatat bagaimana negeri-negeri Islam tidak berdaya dijajah oleh aneka penjajah, seperti Inggris, Perancis, Itali, Belanda dan beliau sangat risau serta prihatin dengannya. Akhirnya beliau menjadi heran sehingga mengajukan pertanyaan di atas: “Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya Maju?”

Secara garis besar Syakib Arsalan berkesimpulan bahwa kaum muslimin menjadi mundur dikarenakan mereka meninggalkan agama mereka dienullah Al-Islam. Sedangkan fihak Eropa barat kafir justeru menjadi maju karena mereka meninggalkan agama mereka, yaitu agama nasrani atau kristen. Mengapa bisa demikian? Karena Islam adalah agama yang benar, sempurna dan saling menyempurnakan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Sedangkan agama para penjajah merupakan agama yang telah kehilangan keasliannya. Agama Nasrani telah mengalami banyak penyimpangan serta kontaminasi nilai akibat ulah tangan-tangan jahil para rahib, pendeta dan pastornya. Mereka telah sengaja merubah isi Al-Kitab Bible di sana-sini. Perubahan tersebut dilakukan karena berbagai kepentingan duniawi dan hawa nafsu. Oleh sebab itu Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم pernah bersabda:

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا

آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ الْآيَةَ

"Jangan kalian benarkan ahli kitab, dan jangan pula kalian mendustakannya, dan katakan saja “Kami beriman kepada Allah, dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu”."(HR Bukhari 6816)

Sedangkan sumber utama ajaran Al-Islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya memperoleh jaminan terpelihara keasliannya dari Allah سبحانه و تعالى :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al-Hijr 9)

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى

“...dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم ) itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An-Najm 3-4)

Selain itu, kaum muslimin menjadi mundur saat meninggalkan agamanya karena Islam dan ilmu pengetahuan berjalan seiring. Sehingga begitu kaum muslimin meninggalkan Islam secara otomatis juga meninggalkan ilmu pengetahuan, maka akibatnya mereka menjadi mundur. Sebaliknya, kaum kafir Eropa memiliki agama yang diwakili oleh fihak gereja pada abad kegelapan. Dan bukan rahasia lagi bahwa pada masa itu banyak doktrin dan ajaran fihak gereja alias agama Nasrani bertolak belakang dengan ilmu pengetahuan. Sehingga ketika masyarakat kafir Eropa berontak terhadap belenggu gereja mereka secara otomatis mendekat kepada ilmu pengetahuan dan itu menyebabkan mereka menjadi maju.

Dalam situasi seperti itu Amir Syakib Arsalan membedah persoalan kaum muslimin. Dengan piawai beliau berhasil merumuskan secara tertib rangkaian sebab mundurnya kaum muslimin dan majunya kaum selainnya. Ada lima sebab menurutnya. Dan kelima sebab tersebut memiliki hubungan sebab-akibat satu sama lainnya. Uniknya lagi, kelima sebab tersebut jika kita perhatikan baik-baik, masih sangat relevan dengan keadaan kaum muslimin hingga saat ini. Kelima sebab tersebut ialah sebagai berikut:

1. Jauh dari Kitabullah Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah

2. Hilangnya tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam – inhizamun dakhily (inferior/rendah diri)

3. At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta)

4. At-Tafriqoh (perpecahan)

5. Tertinggal dalam berbagai urusan dunia



Pertama, kaum muslimin pada umumnya jauh dari dua sumber utama kemuliaan mereka, yakni Kitabullah Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah. Padahal Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم secara gambalang mewasiatkan agar kita senantiasa berpegang teguh kepada kedua warisan suci tersebut. Hanya dengan bersikap demikianlah kita tidak bakal menjadi tersesat dari jalan lurus yang Allah سبحانه و تعالى telah bentangkan bagi orang-orang beriman.

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya." (MALIK - 1395)

Semestinya kedua perkara ini menjadi rujukan utama kaum muslimin, baik dalam urusan kecil maupun besar, baik urusan pribadi maupun bermasyarakat. Kedua perkara ini merupakan sumber kemuliaan dan kebanggaan kaum muslimin. Jika mereka akrab dengannya, niscaya mereka menjadi mulia. Jika mereka jauh dari keduanya, niscaya mereka akan dihinggapi kehinaan sebagaimana yang tampak dewasa ini.

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ

وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al-Mukminun 71)

Realitasnya, dewasa ini hubungan kaum muslimin umumnya jauh dari kedua sumber utama ajaran Islam tersebut. Kalaupun ada hubungan biasanya hanya hubungan parsial. Ada yang hubungannya dengan Al-Qur’an hanya sebatas tilawah (membacanya). Atau kalaupun ada yang lebih daripada itu ialah hubungan tahfizh (menghafalkannya). Ini bukan berarti kita tidak menganggap penting aktifitas tilawah dan tahfizh Al-Qur’an. Tetapi masalahnya ini tidaklah cukup. Allah سبحانه و تعالى tidak menurunkan Al-Qur’an dengan maksud sebatas itu. Allah سبحانه و تعالى menurunkan Al-Qur’an agar menjadi petunjuk, pedoman hidup bagi ummat Islam, bahkan segenap ummat manusia. Allah سبحانه و تعالى menghendaki agar dengan berpedoman kepada Al-Qur’an ummat manusia keluar dari kegelapan jahiliyah menuju terangnya hidayah cahaya Islam. Maka sepatutnya kaum muslimin juga tadabbur (memahami) dan tathbiq (mengamalkan) Al-Qur’anul Karim.

Tetapi hal di atas tidak terjadi. Malah banyak muslim yang lebih bangga hidup berpedoman kepada berbagai sumber kebanggaan selain daripada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلى الله عليه و سلم . Mereka bangga dengan berbagai kitab karya manusia. Ada yang lebih bangga dengan kitab warisan nenek moyangnya yang bukan Islam. Ada yang membanggakan kitab produk kaum kuffar Eropa. Ada yang membanggakan kitab lokal-tradisional suku atau bangsanya yang bukan berpedoman kepada Kitabullah. Dan banyak lagi lainnya. Padahal Allah سبحانه و تعالى sudah memperingatkan apa yang bakal terjadi jika mereka meninggalkan sumber kebanggaan yang berasal dari Allah سبحانه و تعالى dan Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم .

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُواالسُّبُلَ

فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“...dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-An’aam 153)

Kedua, Hilangnya tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam – inhizamun dakhily (inferior). Dikarenakan kaum muslimin jauh dari sumber kebanggaan dan kemuliaannya, maka mulailah tumbuh sikap minder atau malu menjadi seorang muslim. Mulailah kaum muslimin terjangkiti penyakit inferior (rendah diri) untuk menampilkan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Mereka tidak ingin dianggap terbelakang dan ketinggalan zaman. Sedangkan agama Islam sudah terlanjur di-asosiasi-kan dengan segala sesuatu yang mengindikasikan keterbelakangan dan ketinggalan zaman. Hilang sudah kebanggaan diri sebagai seorang muslim. Padahal di dalam Al-Qur’an justeru Allah سبحانه و تعالى muliakan orang-orang beriman dengan menamakan mereka kaum muslimin.

هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ

أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا

“Dia (Allah سبحانه و تعالى ) telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian muslimin dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini.” (QS Al-Hajj 78)

Karena jauh dari Al-Qur’an, maka kaum muslimin menjadi seolah tidak pernah membaca ayat di atas. Mereka tidak sadar bahwa justeru tampil dengan identitas Islam merupakan tuntutan dari Allah سبحانه و تعالى dan barangsiapa bangga dengan nilai-nilai Islam berarti ia sedang mengejar ridha Allah سبحانه و تعالى . Dan ini berarti mereka belum benar-benar beriman. Sebab Allah سبحانه و تعالى berjanji bahwa barangsiapa yang beriman dengan benar, niscaya hilanglah rasa rendah diri dan kesedihan hidupnya.

وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran 139)

Ketiga, At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta). Karena sudah tidak memiliki tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam sebagai jalan hidup, maka mulailah kaum muslimin melirik berbagai ajaran selain agama Allah سبحانه و تعالى .

Karena mereka minder menyebut diri sebagai muslim, minder bila tampil dengan identitas Islam semata, tidak yakin bakal diterima di tengah masyarakat modern bila hanya mengkampanyekan Islam saja, maka mulailah mereka mencari alternatif lain yang diyakini bakal lebih “laku” di tengah zaman penuh fitnah ini. Mulailah mereka mencari alternatif lain yang mereka yakini bakal secara cepat mendatangkan dukungan luas masyarakat. Sambil melupakan pentingnya dukungan Allah سبحانه و تعالى sebelum segala sesuatunya. Apalah artinya mendapat dukungan luas masyarakat bila Allah سبحانه و تعالى tidak ridha. Jauh lebih penting dan sudah semestinya kaum muslmin selalu mengutamakan dukungan atau ridha Allah سبحانه و تعالى daripada dukungan masyarakat luas. Walaupun sudah barang tentu ideal bila dapat memperoleh dukungan Allah سبحانه و تعالى sekaligus dukungan masyarakat luas. Tetapi di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini, pilihan yang ada seringkali sangat pahit. You can”t win them all...!

Masing-masing diri dan kelompok mencari seruan, jalan hidup, ideologi, pandanganhidup, nilai-nilai selain Islam yang dia lebih tsiqoh kepadanya. Lalu mereka mengikutinya dengan semangat taqlid alias membabi-buta. Mereka tidak mengkritisi ajaran baru yang mereka pandang menjadi solusi lebih baik dari Islam, baik mengikutinya secara murni maupun dengan mengkombinasikannya bersama ajaran Islam. Biasanya sebelum mereka taqlid dengan ajaran baru tersebut mereka mengaku sudah meneliti dan mempelajarinya secara mendalam. Dan kesimpulannya mereka katakan bahwa ajaran baru tersebut sejalan alias tidak bertentangan dengan Islam. Itulah sebabnya mereka menganutnya.

Mereka lupa bahwa kalaupun ajaran baru itu tampak sejalan dengan Islam, namun ia merupakan produk manusia yang sudah barang tentu tidak sempurna bebas-cacat dan penyimpangan, serta tidak pantas disetarakan, apalagi ditinggikan lebih daripada ajaran produk Allah سبحانه و تعالى . Subaahanallahi ‘amma yusyrikun (Maha Suci Allah سبحانه و تعالى dari apa-apa yang mereka persekutukan/asosiasikan). Dan lagi, kalaupun ada ajaran selain Islam yang “sejalan” dengan Islam, mengapa tidak merasa cukup dengan menganut Islam saja? Mengapa harus lebih mengedepankan ajaran selain Islam-nya? Mengapa tidak Islam-nya saja yang dikedepankan? Bukankah Allah سبحانه و تعالى sudah mengarahkan kita untuk senantiasa menampilkan Islam dan mengaku muslim dalam berbagai kiprah saat kita mengajak manusia menuju Allah سبحانه و تعالى alias saat sedang terlibat dalam aktifitas mengajak manusia yang biasa dikenal dengan istilah ad-da’wah..?

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ

وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajak) kepada Allah سبحانه و تعالى , mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk kaum muslimin (orang-orang yang berserah diri)?"(QS Fushilat 33)

Mulailah penyakit taqlid alias mengekor secara membabi buta menjadi fenomena di tengah kaum muslimin. Yang terlalu kagum dengan asal-usul identitas bangsa dan nenek moyangnya mengambil nasionalisme. Yang over-kagum dengan tatanan sosial masyarakat barat mengambil sekularisme dan demokrasi. Yang berlebihan mengutamakan toleransi dan perdamaian mengambil pluralisme. Yang tidak kuasa mengendalikan hawa nafsunya dan terlena dengan kesenangan dunia fana mengambil liberalisme dan hedonisme. Yang mendewakan akalnya sibuk berlomba mengejar ketertinggalan di bidang materi, sains dan teknologi, tanpa melihat halal-haramnya. Yang mengutamakan aspek spiritual modern mengambil new age religion. Yang mengutamakan spiritual tradisional mengambil faham kearifan lokal alias mistik-klenik.

Pendek kata, masing-masing telah memiliki alternatif lain ajaran yang diikuti selain Islam. Ada yang terang-terangan mengaku mengikutinya tanpa menyertakan Islam dalam identitasnya. Tetapi yang kebanyakan adalah yang malu-malu untuk mengaku bahwa ia telah menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam. Sehingga akhirnya mereka cenderung mengkombinasikannya dengan Islam sebagai identitas. Artinya ajaran barunya itu biasanya “dicantolkan” bersama dengan identitas Islam yang -kata mereka- masih mereka anut. Akhirnya muncullah istilah-istilah asing seperti Islam-nasionalis, Islam-demokrat, Islam-liberalis, Islam-modernis, Islam-pluralis, Islam-progressif, Islam-universalis, Islam-humanis, Islam-spiritualis dan lain sebagainya. Pada prakteknya justeru ajaran selain Islam yang ditempelkan kepada identitas Islam itulah yang lebih diutamakan daripada Islamnya itu sendiri. Perlu diingat bahwa Islam-plus atau Islam-minus atau apapun namanya dia bukanlah Islam. Sebab Islam adalah Islam. Ia adalah agama Allah سبحانه و تعالى yang telah sempurna. Tidak memerlukan tambahan dan tidak sepatutnya dikurangi atau ditawar-tawar...!

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ

عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah 3)

Keempat, At-Tafriqoh (perpecahan). Karena masing-masing kelompok tenggelam di dalam kebanggaan ajaran selain Islam, maka otomatis merebaklah perpecahan di dalam tubuh ummat Islam. Masing-masing kelompok membanggakan seruan kelompoknya. Padahal seruannya sudah tidak murni ajaran Allah سبحانه و تعالى . Lalu apa yang mereka harapkan? Apakah mereka mengira jika manusia menyambut seruan mereka berarti itu pertanda benarnya seruan mereka? Inilah dua pasal yang dibahas dengan tajam oleh Syakib Arsalan: (1) Dalam Berjuang jangan Membanggakan Jumlah Pengikut dan (2) Kemenangan Suatu Ummat Tidak Bergantung Kepada Kuantitas Tetapi Kualitas.

Mereka menjadi sibuk mengutamakan kuantitas pengikut, kohesitas kelompok, daya konsolidasi dan kemampuan mobilisasi anggotanya daripada memfokus kepada substansi ajaran yang mereka serukan. Padahal sudah jelas di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى menyuruh ummat Islam untuk memastikan komitmen kepada agama Allah سبحانه و تعالى sebelum membangun soliditas kebersamaan. Bahkan komitmen murni dan konsekuen kepada agama Allah سبحانه و تعالى itulah syarat lahirnya sebuah jama’ah yang solid, mumpuni, tidak terpecah dan selamat di dunia-akhirat.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang-teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran 103)

Ayat ini sering disalah-fahami sebagai ayat yang memerintahkan pentingnya جَمِيعًا (berjamaah). Padahal berjamaah merupakan hasil dari pelaksanaan perintah utama di dalam ayat ini, yakni وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ (berpegang-teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah). Bila sekumpulan muslim berpegang-teguh secara murni dan konsekuen kepada agama Allah, niscaya kesatuan hati di antara mereka Allah سبحانه و تعالى tumbuhkan. Mereka menjadi akrab satu sama lain, baik secara resmi berada di dalam satu kelompok maupun tidak. Tapi sebaliknya, berbagai pengelompokan yang berlandaskan selain agama Allah, baik secara eksplisit maupun tersamar alias malu-malu, maka ia tidak akan dijamin kesatuan hatinya, Kalaupun tampak solid, ia hanya akan solid sebatas tampilan luar saja dan sebatas di dunia saja, sedangkan di akhirat mereka pasti akan bercerai-berai bahkan saling mencela satu sama lain.

الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf 67)

Bahkan kepatuhan mereka kepada pimpinan kelompok masing-masing yang sewaktu di dunia dibanggakan sebagai bukti kedisiplinan dan kemuliaanan komitmen, justru menjadi penyesalan di akhirat.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا

رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".(QS Al-Ahzab 66-68)

Masing-masing kelompok yang berjuang dengan aneka seruan selain Islam salingmembanggakan seruan dan kelompoknya. Sehingga berpecah-belahlah ummat Islam. Solusi yang tiap-tiap kelompok tawarkan bukanlah kembali kepada kemurnian Islam, tetapi malah semakin bersemangat mempromosikan kehebatan dan keutamaan masing-masing kelompoknya. Akhirnya group values menjadi lebih utama daripada Islamic values. Apa saja yang berasal dari kelompoknya dia bela dan apa saja yang datang dari luar kelompknya dia curigai. Akhirnya tolok-ukur benar-salah bukan lagi Islam tetapi kelompoknya dan apa saja yang bersumber dari pimpinan kelompoknya.

وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ

وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“...dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Ruum 31-32)

Kelima, tertinggal dalam berbagai urusan dunia. Akhirnya, menurut Syakib Arsalan, tenggelamnya kaum muslimin dalam perpecahan secara otomatis melemahkan ummat Islam secara keseluruhan. Dan Allah سبحانه و تعالى jelas telah menegaskan bahwa ketidak-kompakkan ummat dalam mentaati Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم pasti melahirkan kelemahan dan menghilangkan kekuatan ummat Islam.

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا

وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Anfaal 46)

Semua bersumber dari lebih bangganya kaum muslimin terhadap seruan selain Islam, baik sendirian maupun bersama Islam. Apakah itu dengan cara menampilkan seruan Islam-plus atau Islam-minus, maka apapun seruannya jika kaum muslimin tidak menerima Islam secara utuh dan apa adanya dari Allah سبحانه و تعالى , niscaya mereka bakal menjadi hina di dunia dan merugi di akhirat.

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ

فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ

فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (QS Al-Baqarah 85)

Walaupun ayat di atas turun berkenaan dengan kaum yahudi, namun Allah سبحانه و تعالى menyuruh ummat Islam untuk mengambil pelajaran dari kisah ummat-ummat terdahulu. Sebab bila ummat Islam mengikuti kekeliruan kaum yahudi, niscaya nasib yang sama bakal menimpa mereka. Hina di dunia dan azab di akhirat....! Wa na’udzu

วันพุธที่ 11 พฤษภาคม พ.ศ. 2554

Ketahuilah, Ikatan Islam Bukan Ikatan Darah, Nasab, dan Bangsa

oleh Sayyid Quthb

Marilah rehat sejenak pada kisah Nuh alaihis salam. Nuh alaihis salam dan putranya yang bukan anggota keluarganya! Peristiwa ini merupakan rambu yang jelas dan terang benderang tentang tabiat aqidah Islam, dan aturan garis pergerakannya. Gambaran dari Allah Ta'ala tentang keluarga ayah dan anak, yang berpisah karena perbedaan aqidah.

وَأُوحِيَ إِلَى نُوحٍ أَنَّهُ لَن يُؤْمِنَ مِن قَوْمِكَ إِلاَّ مَن قَدْ آمَنَ فَلاَ تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ ﴿٣٦﴾
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلاَ تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِنَّهُم مُّغْرَقُونَ ﴿٣٧﴾

"Dan di wahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kamu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang zalim itu. Sesungguhnya, mereka itu akan ditenggelamkan". (QS : Hud : 36-37)

حَتَّى إِذَا جَاء أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِن كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلاَّ مَن سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ آمَنَ وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ

"Hingga apabila peirntah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman : "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang-orang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman, "Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit". (QS : Hud : 40)

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلاَ تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ ﴿٤٢﴾
قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاء قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِلاَّ مَن رَّحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ ﴿٤٣﴾

"Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung Dan Nuh memanggil anaknya, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir! Anaknya menjawab : 'Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah! Nuh berkata : 'Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang. 'Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Maka adilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan". (QS : Hud : 42-43)

وَنَادَى نُوحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ ﴿٤٥﴾
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ ﴿٤٦﴾
قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٤٧﴾

"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata : 'Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya' Allah berfirman : 'Hai Nuh, sesungguhnya ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya).Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan. 'Nuh berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikatnya), dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi". (QS : Hud : 45-47)

Sesungguhnya ikatan yang mengikat orang-orang dalam agama ini adlah ikatan yang khas yang menjadi keistimewaan agama ini, dan ia terkait dengan pandangan, misi, dimensi, dan tujuan yang hanya dimiliki manhaj rabbani yang mulia ini.

Ikatan agama ini (Islam) bukan ikatan datah, nasab, dan bukan ikatan tanah air dan bangsa, bukan ikatan kaum dan warga, bukan ikatan warna kulit, dan bahasa, bukan ikatan ras dan suku, juga bukan ikatan profesi dan status sosial. Sesungguhnya semua ikatan ini, tanpa terkecuali, kdang terjalin, lalu terputus hubungan antara individu-individunya, seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wata'ala kepada hamba-Nya, Nuh alaihis salam kala ia berseru, "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku". Dia berfirman kepadanya :"Hai Nuh, sesungguhnya ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), "Kemudian Dia menjelaskan mengapa putranya menjadi bukan putranya, "Sesungguhnya (perbuatannya perbuatan yang tidak baik. "Ikatan iman telah terputus antara kalin berdua wahai Nuh. "Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tiak mengetahui (hakikatnya). "Engkau mengiranya sebagai anakmu, tetapi prasangkamu ini keliru. Hakikat sebenarnya yang meyakinkah adalah ia bukan termasu keluargamu, meskipun ia adalah anakmu dari tulang sulbimu!

Ini adalah rambu jalan yang terang dan jelas, saat manusia dipersimpangan jalan, ia menjelaskan sudut agama ini terhadap rgam tali ikatan. Ia menjelaskan sudut-sudut pandang jahiliyah yang kejahiliyahan-kejahiliyahannya menjadikan ikatan, kadang dari darah dan nasab, kadang dari tanah air, kadang bangsa, kadang kaum, kadang dari warna kulit, dan kadang bahasa, kdadang dari ras dan suku, dan kadang dari profesi dan status sosial. Kadang dari kepentingan-kepentingan bersama, sejarah bersama, atau masa depan bersama, kesemuanya adalah konsep jahiliyah - baik yang bersatu maupun yang bercerai - yang bertentangan secara diametral dengan konsep Islam!

Manhaj Rabbani yang orisil - yang mengejawantah (nyata) dalam al-Qur'an dan dalam petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam yang merupakan petunjuk ke sesuatu yang paling benar dan mendidik umat Islam dengan landasan utama dan rambu yang terang di persimpangan jalan ini.

Perumpamaan yang digunakan al-Qur'an dalam kisah Nuh alaihis sallam da anaknya - kisah yang sangat luar biasa yang mempunyai ikaktan emosional, tetapi Nuh alaihis sallam tetap dilarang oleh Allah Ta'ala, karena anaknya tetap menolak beriman. Kisah Nuh alaihis sallam dengan anaknya menerangkan beragam hubungan dan ikatan jahiliyah yang lainnya.

Tidak ada ikatan yang benar (haq) kecuali ikatan yang berdasarkan aqidah Islam. Sedang ikatan-ikatan dan hubungan lainnya, hanyalah paham jahiliyah. Kaum Muslimin harus meninggalkan semua ikatan dan hubungan yang bersifat jahiliyah itu. Wallahu'alam.